Part 18 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 18, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …

Part 18 :

Sam duduk di teras belakang rumah mereka yang menghadap ke laut. Suara riak gelombang terdengar beraturan saat memecah pantai. Sinar bulan terlihat mengintip di sela-sela daun mangga. Pekik keluang—sejenis kelelawar besar terdengar memecah keheningan. Binatang nokturnal itu mengincar buah mangga yang sudah matang. Sam menyandarkan tubuhnya ke tiang tangga.

Pikirannya melayang. Dia membayangkan kalau nanti dia akan meninggalkan ibu dan adiknya ke tempat yang lebih jauh. Tekadnya untuk kuliah setelah lepas SMA nanti sudah bulat. Dia sudah mengumpulkan setiap uang yang didapatnya. Dia juga berusaha untuk mencari informasi untuk mendapatkan beasiswa.

“Bang! Jangan ngelamun!” Nengsih menepuk punggung abangnya. Gadis itu semakin cantik diusianya sekarang yang sudah dua belas tahun.

“Dek, dudok sinek,” ajak Sam pada adik kesayangannya itu. Nengsih duduk di dekat abangnya. Dia menjuntaikan kedua kakinya.

“Bang, terang bulan ye?” tanya Nengsih pada Sam. Gadis itu mendongakkan kepalanya menatap bulan yang bulat penuh. Langit tampak sangat cerah, bintang bertaburan.

“Iye Dek, bulan purnama atau purnacandra. Fase bulan di mane bulannye terletak di belakang matahari,” jawab Sam menjelaskan pada Adiknya. Nengsih mengangguk. Dia selalu merasa bangga dengan abangnya yang selalu tahu tentang semua hal.

“Ye Bang, kamek isak belajar juak fase-fase bulan,” jawab Nengsih dengan bangga.

“Bang liat, ade bintang jatuk! Cepat buat permintaan! ” teriak Nengsih sambil menunjuk ke langit. Dia melihat sebuah sinar yang tampak melesat dari langit.

Sam tersenyum melihat ulah adiknya.
“Apela bintang jatuk to? Kan la belajar,” tanya Sam menguji adiknya.

“Mual Adek tahu, itu meteorid yang terbakar karena bergesekan dengan benda langit yang lain. Kalau masuk ke atmosfer dan jatuh ke bumi di sebut meteorit,” jawab Nengsih dengan gaya seperti seorang guru. Gadis itu memang bercita-cita ingin menjadi guru.

Tawa Sam pecah melihat gaya adiknya.
“Kerenn!” Sam memuji Nengsih. Membuat gadis itu tersipu.

“Bang ade urang yang nyari Abang.” Bu Suhana menghampiri kedua buah hatinya.

“Sape Mak?” tanya Sam. Karena keasyikan ngobrol mereka tidak mendengar kalau ada tamu.

“Umak dak tahu, itu diantar Rahim,” jawab Suhana. Mendengar jawaban ibunya. Sam dan Nengsih langsung masuk dan menuju ke ruang tamu.

Dia terkejut saat melihat Paman la Ode. Rahim yang melihat Sam langsung menghampiri sahabatnya itu.

“Tadi aku ke bom nak ngambil jerigen minyak di kapal, tau e dipanggil Paman La Ode. Belau minta antar ke rumah mikak. Aku dak tahu nak ngape,” bisik Rahim. Dia takut disalahkan oleh Sam karena telah mengantar.

“Ye la ndak ape-ape.”

Sam menyalami Paman La Ode. Tadi siang mereka memang belum pernah bertemu.

“Apa kabar, Sam?” tanya Paman La Ode. Laki-laki itu mengusap punggung Sam dan mengajaknya duduk di dekatnya. Nengsih mengintip dari balik gorden pintu yang memisahkan ruang tengah dengan ruang tamu. Gadis itu tidak tahu siapa tamu yang mencari abangnya.

“Alhamdulillah, baik Paman,” jawab Sam.

“Ibu dan adik kamu mana?” tanya Paman La Ode.
“Ade di dalam.”

“Bisa dipanggil? Ada yang ingin Paman sampaikan,” pinta laki-laki itu. Sam berdebar, tapi dia tidak mau menebak apa yang akan disampaikan sahabat ayahnya itu.

“Iye, Paman. Aku panggil duluk.” Sam segera masuk. Dia terkejut karena hampir saja menabrak adiknya.

“Adek!” bisik Sam. Nengsih tersenyum malu karena ketahuan mengintip.

“Panggil Umak,” titah Sam pada adiknya itu.
“Iye, Bang,” jawab Nengsih. Gadis itu segera ke dapur.

“Mak dipanggil Abang, tamu nak ketemu kan kite semua,” ucap Nengsih pada Suhana yang saat itu sedang membuat kopi untuk tamu mereka.

“O iya, yuk ini bawa.” Suhana meminta Nengsih untuk membawa toples yang berisi emping melinjo yang baru saja digoreng. Mereka beriringan menuju ke ruang tamu. Suhana bertanya-tanya dalam hati, siapa tamu yang datang ke rumah mereka?

MAP

Jangan-jangan ini juga salah satu orang yang mencoba mendekati dirinya. Tapi dari mana? Perasaan dia seperti pernah melihat wajah orang itu.

“Silakan, hanya ini yang ada di rumah Sam,” ucap Suhana menyisakan tamu mereka. Wanita itu tersenyum dan mengangguk seraya menangkup kan tangan di dada.

“Saya Ibunya Sam,” ucapnya mengenalkan diri. Dia juga duduk di kursi nilon yang mengisi ruang tamu mereka. Baki yang dibawanya diletakkan di atas lemari kecil yang ada diruangan itu.

“Dek, sinek,” ajak Suhana pada Nengsih yang berdiri di dekat pintu. Nengsih segera menghampiri Suhana dan duduk di samping ibunya itu.

Paman la Ode tersenyum. “Terima kasih, Bu. Jadi ingat dulu.” Suhana terdiam mendengar hal itu.
Berarti memang benar dugaanku, aku pernah melihat orang ini sebelumnya, bisik Suhana dalam hati.

“Begini Bu, sebelumnya saya minta maaf kalau kedatangan saya merepotkan kalian.” Laki-laki itu mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaket yang dia kenakan. Sam dan Suhana berpandangan.

“Kedatangan saya ke sini untuk menyampaikan titipan dari seseorang. Mohon diterima.” Paman La Ode memberikan amplop itu pada Sam. Nengsih melihat ke arah Ibu dan kakaknya. Gadis itu tidak mengerti apa yang terjadi dan siapa tamu yang datang ke rumah mereka. Selama ini memang Sam tidak pernah bercerita apapun pada ibu dan adiknya.

Sam merasa serba salah, antara menerima atau menolak apa yang diberikan Paman La Ode padanya.

“Ambillah, ini amanah yang harus Paman sampaikan.”

Sam menatap ibunya seakan minta persetujuan. Suhana merasa serba salah.

“Maaf, kalau boleh tahu, ini apa dan dari siapa?” tanya Suhana. Sebagai seorang ibu dan istri yang sudah lama di tinggal suami. Dia harus hati-hati untuk menerima pemberian. Dia takut di salah artikan.

Paman la Ode terdiam sejenak. Dia seperti merasa bersalah. Laki-laki itu mengusap kepala Sam.

“Ini dari Ayahmu,” jawabnya perlahan. Sam terkejut. Anak laki-laki itu melihat ke arah ibunya. Wanita itu terdiam. Paman La Ode memberikan amplop berwarna coklat itu pada Sam.

“Ambillah,” ucap Paman La Ode sambil meletakkan amplop itu ke tangan Sam. Membuat anak itu merasa, serba salah. Dia segera menghampiri ibunya dan memberikan amplop yang dipegangnya.

“Mak, ini dari Ayah,” ucap anak itu dengan bibir bergetar. Ada kecewa yang dia rasakan. Mengapa ayah tidak mau menemui mereka. Suhana hanya terdiam. Amplop sudah berada di tangannya. Dia bingung antara menerima atau menolak titipan itu.

“Ayah saya di mana Paman? Mengapa dia tidak mau menemui kami?” tanya Sam. Bibirnya bergetar menahan tangis. Rahim yang melihat hal itu jadi ikut terharu.

“Maaf Nak, Paman tidak bisa bercerita banyak. Mungkin di dalam amplop itu ada surat dari ayahmu,” ucap Paman La Ode. Sam tidak bisa menahan kesedihannya. Nengsih juga terdiam.

“Baik, kalau begitu, Paman permisi. Jaga Ibu dan Adik ya,” pesan Laki-laki itu. Sam mengangguk. Dia mengusap kedua matanya.

“Saya permisi, Bu.” Laki-laki yang masih terlihat gagah itu melihat ke arah Suhana. Wanita yang dulu pernah disukaimya, namun kalah berani dan cepat dengan sahabatnya waktu itu.

Dia merasa sangat marah dan kesal dengan sikap La Harun yang begitu tega meninggalkan anak dan istrinya. Akan tetapi dia tidak bisa apa-apa.
“Terima kasih, Paman,” ucap Sam.

“Iya, kalau ada apa-apa, hubungi Paman,” jawab laki-laki itu . Tatapan lembut dari mata tajamnya membuat Sam merasa begitu dekat.

Bersambung


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…