Part 17 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 17, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …

Part 17 :

“Sam!” Rahim berteriak memanggil sahabatnya itu. Sepertinya remaja itu baru pulang dari melaut. Ada kabar yang ingin segera disampaikannya pada Sam.

“Ui, ngape?” sahut Sam. Dia baru pulang dari rumah kakeknya saat mendengar Rahim memanggilnya.

“Sam, kapal yang dari Ambon ade pulak!”
Sam hanya diam mendengar yang diceritakan Rahim.

“Sebile? Kemarik aku balik lum ade ne di pelabuhan,” jawab Sam.

“Iye, baru tadik, waktu kamek datang. Kapal itu baru datang juak,” cerita Rahim dengan bersemangat.

“Ade ape Him?” tanya Ibu Suhana. Wanita itu baru pulang mengantarkan kerupuk, kemarin ada yang memesan cukup banyak. Katanya untuk oleh-oleh ke Jakarta.

Sam menginjak kaki Rahim, dia memberi isyarat supaya anak itu tidak bercerita pada Ibunya. Sam tidak mau melihat ibu kembali sedih setiap kali teringat pada orang yang telah meninggalkan mereka.

Rahim meringis kesakitan karena kakinya diinjak Sam.

“Nak ngajak Sam ke laut isok Mak, kamek nak mancing cumik,” jawab Rahim.

“O iye la,” jawab Suhana. Sam memang lagi libur panjang menunggu kelulusan SMP.

“Ade ikanke? Men ade Umak nak minta bagi idang muat kerupok.”

“Mual klo e Mak. Kini aku sebut kan Ayah,” jawab Rahim.

“Bau amis kao ne, Him,” ledek Sam pada temannya itu.

Rahim hanya tersenyum cengengesan, dia memang belum sempat membersihkan diri. Tadi begitu kapal motornya bersandar dia langsung turun karena melihat ada kapal besar yang juga baru bersandar.

Setelah dia memastikan kalau itu adalah kapal Paman La Ode yang dulu pernah mereka naiki, Rahim langsung berlari menuju rumah Sam untuk menyampaikan apa yang dilihatnya.
Di sebut bau amis, Rahim tidak marah, karena memang benar.

“Aku balik ke bom dulukla, nulongek Ayah,” ucap Rahim.

“Aku ikut, Him!” tentu saja Rahim senang melihat sahabatnya itu mau ikut. Nanti mereka bisa ke kapal besar itu.

“Bang, kalok ade ikan, kini bawa dulu ye. Tanya kan Pak Long berape?” pesan Suhana pada anak sulungnya itu.

“Iye Mak, kamek pegi duluk.” Keduanya segera menuju ke arah belakang rumah. Mereka memilih untuk menyusuri pantai untuk menuju ke dermaga.
Suhana menatap kedua anak laki-laki itu. Sam semakin tinggi, tubuhnya sudah mulai berisi. Walau sering ikut melaut, tapi kulit Sam tidak terlalu dimakan panas.

“Mak, Abang kemane?” tanya Nengsih yang baru pulang. Nengsih sudah kelas enam. Wajah gadis yang beranjak remaja itu semakin cantik.

Hidungnya mancung seperti hidung Suhana. Hidung yang menjadi ciri khas gadis Pulau Seliu. Kulit Nengsih putih, agak berbeda dengan kulit abangnya yang kuning langsat.

“Abang ke bom, nulongek Abang Rahim ngemasek perahu,” jawab Suhana.

“Oo,” jawab Nengsih.

“Kakek kao muat gule kirik ke?” tanya Suhana pada Nengsih.

“Mual tadi Kakek muat,” jawab Nengsih. Karena tadi dia sempat meminta buih gula yang masih encer untuk dimakannya bersama singkong rebus.

Dia memang tak pernah bosan. Hampir setiap hari kalau Kek Karim membuat gula aren, gadis itu pasti selalu menyodorkan piring kecil meminta buih gula pada kakeknya.

MAP

Sebenarnya Suhana sudah melarang ayahnya itu untuk menyadap nira sebagai bahan untuk membuat gula aren. Karena pohon kabung atau nira yang disadap sangat tinggi, dan Kek Karim biasanya naik bukan menggunakan tangga tapi hanya menggunakan kayu yang dibuatnya sebagai pijakan.

Pernah sekali laki-laki tua itu jatuh dan menyebabkan kakinya sedikit pincang. Namun, Kek Karim memang seorang pekerja keras. Setelah merasa sembuh, dia sudah mulai lagi.

“Sayang, kalo ndak disadap, ini kan rezeki dari Allah,” jawab laki-laki tua itu setiap kali Suhana larang untuk naik lagi.

“Tidak apa-apa, Ayah akan hati-hati,” sahutnya dengan wajah yang selalu tersenyum. Membuat Suhana dan Nenek hanya bisa terdiam.

Gula aren buatan kakek selalu laris dan sudah ditunggu. Bahkan sering orang membeli langsung ke tempat Kek Karim membuatnya. Mereka senang melihat cara Kek Karim mencetak gula itu dengan cetakan dari pohon bambu yang dipotong- potong.

“Paya , tengkaran. Nak je belau la,” ucap Nenek. Setiap kali Suhana mengingatkan ayahnya itu untuk tidak memanjat pohon aren yang sudah tinggi.

Sebenarnya Nenek dan Kakek sudah di ajak tinggal di kabupaten, karena memang adek dan kakak Suhana sudah tinggal di sana. Hanya tinggal Suhana yang bertahan untuk tinggal di pulau.

Namun, kedua orang tua itu belum mau. Mereka tidak betah kalau hanya berdiam diri di rumah.
Sementara itu, Sam dan Rahim sudah tiba di dermaga.

“Sam, ko liat itu. Benarkan itu kapal Paman La Ode?” ujar Rahim seraya menunjuk ke arah kapal besar yang sedang bersandar.

“Him, kao ne usa nunjok-nunjok kini ape kate urang.” Sam memarahi Rahim. Dia melihat ada beberapa orang anak buah kapal yang sedang duduk di geladak kapal. Mereka belum melihat Paman La Ode atau pun Paman La Andi.

Keduanya segera turun ke perahu motor kepunyaan Rahim.

Ayah Rahim tampak sedang melepaskan ikan-ikan dari jaring pukat.

“Pak Long, Umak minta bagi ikan idang muat kerupok,” kata Sam menyampaikan pesan ibunya.

“O ye, mual ade,” jawab Pak Long Seman, Ayah Rahim.

Sam membantu melepaskan ikan atau pun kepiting yang menyangkut pada pukat. Bahkan banyak keong dengan duri tajam yang tersangkut di pukat, dan keong tersebut langsung di buang kembali ke laut.

“Sam! Itu Paman La Ode!” ujar Rahim seraya menunjuk seorang laki-laki yang sedang berdiri di geladak kapal.

Bersambung …


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…