pradivanews.com – SAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 20, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …
- Baca Sebelumnya: Part 19 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins
Part 20 :
Suhana membersihkan halaman depan rumah panggung mereka yang ditutupi sampah daun mangga, setelah lebih dari seminggu ini tidak ada yang menyentuhnya. Mereka baru kemarin sore pulang.
“Sebile datang Kak?” tanya Ratih, tetangga depan rumah mereka. Wanita itu tampak membawa ikan di dalam kantong kresek putih.
“Kemarik sure, nyari ikan dimane?” Suhana balik bertanya.
“Di gudang Pak Basir,” jawab Ratih seraya memperlihatkan ikan yang dibawanya. Ikan yang masih segar. Karena ikan itu hasil tangkapan semalam yang langsung dijual ke pengepul ikan.
“Nak kesanak juak la kini.”
“Ye, tapi usa gilak siang. Menje ndak gilak banyak. Base urang ndak banyak yang turun,” ucap Ratih.
“Ye, kate e isak angin kencang ye?”
“Iye, malam kemarik angin ribut. Liatla dahan mangge banyak nok patah,” jawab Ratih. Dia menunjuk ke tumpukan ranting dan daun mangga yang sudah di sapu Suhana.
“Oh ye, Kak. Isok ade undangan. Kak Mala la isak nyari ikam.” Ratih menyampaikan undangan pernikahan pada hari Minggu.
“Oh ye, makase ye. Kao kan nulong ke kini?”
“Mual, kalo e kini lauda bemasak di rumah.”
“Kite serte la kini, panggil kalok la kan pegi.”
Suhana memasukkan sampah ke dalam keranjang dari bambu untuk nanti di bawa ke belakang dan di bakar.
“Ye Kak,aku nak bemasak duluk, ” jawab Ratih. Kemudian dia masuk ke rumahnya yang memang berhadapan dengan rumah Suhana hanya dibatasi jalan.
“Mak biar aku yang mawak sampah ke belakang.” Sam berdiri di samping Suhana.
“Ye, Bang. Adek kao la bangkit ke?” tanya Suhana pada anak laki-lakinya yang sekarang sudah lebih tinggi darinya.
“La, Mak. Agik masak aik,” jawab Sam. Tadi memang mereka tidur lagi setelah salat Subuh. Udara pagi yang dingin dan suara deburan ombak membuat mereka merasa nyaman.
“O ye la, Umak mimang lum masak aik tadik,” jawab wanita itu. Sam mengambil sapu dari tangan Ibunya.
“Kalok gitu Umak nak nyarik ikan dulu ke gudang.” Suhana segera ke belakang untuk membersihkan tangannya. Kemudian dia naik ke rumah untuk mengambil uang.
“Mak! Usa meli ikan,” ucap Sam sambil menyodorkan baskom yang berisi ikan segar.
“Ikan dari sape, Bang?” tanya Suhana seraya menyambut baskom.
“Mira tadi ngantarek, Kate e Bapak die banyak dapat isak mukat.”
“O ye ke, Alhamdulillah, Terima kase, mane Mira?” Suhana melongok kan wajahnya mencari keberadaan gadis cantik teman Sam sejak kecil.
“Ndak ade die, Mak. La balik,” ucap Sam yang melihat ibunya mencari Mira.
“La kalok gitu Umak nak masak duluk. Kini Umak nak nulongen di rumah urang kundangan,” jawab Suhana.
“Ye, Kate e Sahina la nak kawin, ye Mak?” tanya Sam pada Suhana. Sahina adalah teman SD Sam dan Mira.
“Iye,” jawab Suhana tersenyum.
“ Be ndak sekula agik?” tanya Sam.
“La usa ingar, ndak baik.” Suhana meninggalkan Sam. Dia tidak mau membahas tentang anak orang lain. Suhana takut. Dia juga memiliki sepasang anak. Memang tidak mudah mendidik anak-anak. Apalagi dia hanya sendiri. Tapi dia selalu bersyukur melihat Sam dan Nengsih yang sejauh ini masih menurut apa yang dia katakan.
“Kak!” Terdengar ada yang memanggil. Nengsih berlari ke luar. Terdengar derit papan lantai saat gadis itu setengah berlari menuju pintu depan yang sudah terbuka.
“Umak mane?” tanya Ratih saat melihat Nengsih.
“Agik mandik.”
“O ye la, sebut Mak Cik tunggu di rumah,” ucap Ratih.
“Ye, Mak Cik.”
“Sape Dek?” tanya Suhana yang tampak segar karena baru selesai mandi. Tercium harum sabun mandi. Wanita itu tampak cantik mengenakan baju gamis dengan bunga- bunga kecil berwarna coklat muda. Dipadukan hijab warna senada.
“Umak lagak amat. Nak kemane?” tanya Nengsih seperti menyelidik. Gadis itu memang selalu curiga kalau ibunya sudah tampil cantik.
Mendengar pujian dari anak gadisnya, Suhana tersenyum.
“Umak.nak nulongek di rumah urang kundangan duluk.”
“Kecik amat Kak Sahina la nak kawin,” celetuk Nengsih.
“Adek, ndak kuang gitu. Ndak baik.”
“Ye Mak,” jawab Nengsih. Gadis itu segera meninggalkan ibunya sebelum mendengar ceramah yang lebih panjang lagi. Suhana hanya bisa tersenyum menatap punggung anak gadisnya.
“Bang, Umak pegi duluk!”
“Ye Mak,” jawab Sam terdengar dari dalam. Suhana segera memanggil Ratih. Mereka masing-masing membawa sebilah pisau, hal ini memang sudah biasa dilakukan setiap datang untuk membantu di rumah orang yang akan “begawai” Istilah untuk mengadakan acara di pulau.
Kedua wanita itu langsung menuju ke belakang, tempat orang memasak. Terlihat ramai. Beberapa orang terlihat mengaduk kawah besar di atas tungku api.
Suhana segera bergabung dengan beberapa orang yang sedang mengolah umbut kelapa.
“Na, Kate anak kao nak kuliah ke Jakarta ye?”
Suhana menoleh, karena dia belum tahu siapa yang menanyakan hal itu. Dilihatnya seorang wanita paruh baya di hadapannya. Suhana tersenyum.
“Euw, lum tahu Mak Long,” jawab Suhana.
“Usa gilak gede hawe. Ukan murah nak kuliah to ye, urang nok agik lengkap jak banyak nok dak sanggup,” ucap Mak Long Hamisa dengan nada sinis. Perempuan satu ini memang sudah terkenal suka mengurusi hal orang lain. Sepertinya mengidap penyakit hati. Suka senang melihat orang susah. Dan susah melihat orang lain senang.
Suhana hanya diam. Dia enggan untuk menimpali.
“Ini begaye amat nak kuliah kedokteran segale. Usa gilak tinggi mimpi to kalok be tejatuk.”
“Be ngape ikan becakap gitu? Kite sebagai urang tue harus e ngendukung ape pun cite-cite anak. Soal biaye itu dudi, yang penting ade kemauan,” jawab Suhana. Dia merasa tidak setuju dengan pendapat Hamisa.
Ratih yang sejak tadi hanya mendengarkan mencolek Suhana, dia memberi kode untuk tidak meladeni perempuan pembawa rusuh itu.
Hamisa yang mendengar jawaban Suhana terlihat kesal.
“Ye, tapi nak ngeliat keadaan urang tue. Usa enggak nurutek hawe!” jawabnya seperti meradang.
Orang-orang yang mendengar hanya diam. Ada yang mungkin setuju dengan pendapat wanita itu. Karena melihat keadaan Suhana yang hanya sendiri. Mungkin mereka berpikir dari mana akan dapat biaya untuk kuliah yang tentunya tidak sedikit.
“Aku se, Bismillah sajak. Kalok Allah memberikan mimpi, pasti Die juak akan metik kan jalan untuk mencapai mimpi itu,” jawab Suhana seraya bangkit. Dia bermaksud untuk pergi dan menghindari dari pertikaian dengan orang yang hanya berniat untuk membuat rusuh.
Melihat Suhana pergi, wanita itu tampak kesal.
“U, begaye amat kite liat kini kiape e,” ucapnya sambil tersenyum sinis.
Suhana sendiri merasa bingung dan tidak mengerti mengapa kabar kalau Sam yang ingin kuliah di Kedokteran begitu cepat tersebar. Namun, Suhana tidak merasa malu ataupun takut. Malah dia ingin membuktikan kalau tidak ada yang tidak mungkin.
Begitu pulang, Suhana tidak bisa menahan perasaannya. Wanita itu masuk kamar dan menumpahkan perasaannya dalam tangis.
Bersambung …
Sahabat …
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews…
Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…