Kecerdasan Buatan

Oleh: Fithrorozi, S.Kom, ME

KECERDASAN Buatan. Sudah lama saya tidak menulis di Facebook, padahal lama sudah ia menanyakan apa yang sedang saya pikirkan. “Nah itu sudah pas !” ujar Bupati Belitung Sahani Saleh (Sanem) sembari tertawa dan memberi salam selamat kepada saya, usai beliau lantik untuk bertugas di tempat yang baru.

Saya jadi terngiang dengan kata-kata Bang Sabriansyah. Dalam banyak komentar ia sering menyebut “Bupati cerdas!.”. Bang Sabriansyah, saya dan Pak Sanem memang pernah satu ruang diawal karir saya di birokrasi setelah lebih dari 11 menjadi orang partikelier.

Pendataan dan Penelitian atau Pendataan dan Pelaporan? Entah mana yang benar. Ah sudah, sudah lama sekali, lupa nomenklatur bidang kami saat itu. Dengan Pak Sanem kami sering bertemu tidak sengaja dalam perbincangan seputar pergerakan generasi muda merebut kepemimpinan.

Sebutan Pak Sanem cerdas ada benarnya. Ketika sekian lama kami berpisah pak Sanem tidak lagi menempelkan setang motor pada dinding kantor. Beliau bahkan sudah dibukakan pintu untuk naik ke mobil berplat BN 1. Betul-betul kecerdasan buatan Pak Sabriansyah dikonfirmasi oleh perjalanan nasib anak manusia, pikirku.

Kecerdasan Buatan bang Sabriansyah memiliki dimensi ruang dan waktu. Sayangnya ruang yang ia pakai adalah ruang kelakar politik di kedai kopi. Sayangnya lagi, waktu yang ia pakai adalah waktu purna tugas sebagai PNS. Sehingga aroma tak tulus dari kecerdasan buatan (baca : Artificial Intelligence) tercium.

Baik kelakar politik dalam lingkungan birokrasi dan politikusnya agak saya hindari. Karena sering keterlaluan. Siasat, intrik, bahkan keculasan sekalipun juga dikategorikan politik. Kalau sudah demikian jangan harapkan dalil rasional berlaku.

Suatu ketika, Pak Bupati berceloteh ingin mengambil alih jabatan Presiden Republik Kelekak, repulik imajiner yang lama saya jabat seperti yang ditirukan oleh ajudan. “Ah masa ?!'” Sontak ajudan menyuruh untuk mengkonfirmasi ke sopir. Dan, sopir pun mengangguk. Nah cerita semacam ini, bisa digolongkan ke dalam dalil irasional, pikirku.

Tetapi, siapa yang bisa membantah, seorang politikus seperti Bupati tidak menggunakan dalil irasional. Visi Bupati bisa termasuk fiksi masa depan beliau. Dan, tidak ada menariknya jika visi bukan irasional. Yang rasional itu adalah misi seperti misi kedua Bupati untuk meningkatkan pelayanan birokrasi yang bersih, inovatif, profesional, akuntabel dan transparan. Wah ! Panjang betul misi beliau.

Latahnya pegawai menyebut definisi politik tak ubah, obrolan politik di kedai kopi. Mungkin ini yang dimaksud Gita Wirjawan dalam podcast End Gamenya, banyak informasi tapi sedikit pengetahuan dan banyak pengetahuan namun sedikit kebijakan.