Merawat Marwah dan Kedaulatan Dewan Kesenian

Oleh: Mansyur Mas’ud

MERAWAT marwah dan kedaulatan dewan kesenian, judul yang saya ambil untuk menuangkan pemikiran ke dalam sebuah tulisan terkait dengan kondisi dewan kesenian saat ini. Saya mencoba menengok ke belakang sekitar akhir tahun 60-an, saat-saat kelahiran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang begitu sangat dinantikan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memandang perlu untuk dibentuknya sebuah lembaga yang bisa membantu Pemerintah DKI Jakarta dalam mengurus dan mengelola ‘kesenian’.

Pemerintah DKI Jakarta merasa tak sanggup mengelola sebuah sumberdaya yang sangat besar dalam kesenian, sehingga membutuhkan suatu lembaga yang di dalamnya berisi orang-orang profesional dalam berbagai bidang kesenian; pelaku kesenian, budayawan, kreator, pemikir, dan konseptor. Pada intinya merupakan kumpulan master-master dalam bidang kesenian.

Saat itu lembaga ini diberi mandat dan mendapatkan hak otonom penuh untuk menyampaikan gagasan dan konsep, mengakomodir dan mengawal aspirasi isan-insan seni dari bawah hingga sampai ke meja dapur kebijakan seni di dinas-dinas terkait pada Pemerintahan DKI Jakarta.

Pemerintah DKI Jakarta sangat terbantu memang, karena sinergisitas dan transparansi antara pemerintah dan dewan kesenian benar-benar terjadi, sehingga iklim berkesenian terasa nyaman dan mesra. Insan-insan seni seolah berkarya di bawah payung yang BESAR, dan saat itu saya merasa anggota-anggota DKJ lebih disegani dibandingkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Dari kesuksesan DKJ itulah kemudian menginspirasi daerah-daerah lain untuk juga membuat dewan kesenian di daerahnya, termasuk juga saya pada saat itu menggagas untuk melahirkan dewan kesenian di Kabupaten Belitung sekitar akhir tahun 2000-an.

Potret dan sekilas sketsa dewan kesenian di atas bisa kita jadikan renungan, apakah semangat dan marwah dewan kesenian kita saat ini masih seirama seperti semangat awalnya? Apakah sinergisitas itu masih terjadi? Apakah kita masih dibutuhkan?

Setelah setengah abad lebih sejak kejayaan dewan kesenian itu, yang terjadi saat ini hampir di semua dewan-dewan kesenian yang ada di daerah gemanya sudah mulai tak beresonansi. Saya sudah melihat dewan-dewan kesenian yang ada di Makassar, Cianjur, sebagian Jawa dan wilayah-wilayah di Sumatera termasuk beberapa kabupaten di Bangka Belitung (Babel), juga belum terasa ada mamfaat besarnya dalam iklim berkesenian.