Part 19 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 19, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …

Part 19 :

Teruntuk anak-anak ku.
Maafkan Ayah yang saat ini belum bisa menemui kalian. Ada banyak hal yang belum bisa Ayah ceritakan. Ayah berharap kalian bisa menjadi anak yang hebat. Jangan seperti Ayah. Sayangi Ibu kalian, karena, dia wanita yang hebat.

Bersama surat ini, Ayah kirim sedikit uang. Semoga bisa diterima, walau jumlahnya tidak seberapa.
Sekali lagi maafkan Ayah.

Sam tertegun menatap lembar kertas putih yang bertulis tangan dengan tinta warna biru di tangannya, ada rona kecewa di wajah tampannya. Begitu juga Nengsih, gadis itu diam. Ada bulir bening di matanya yang indah.

Kerinduan akan kehadiran seorang ayah tampak jelas di wajah kedua kakak beradik itu. Entah sampai kapan penantian keduanya akan berakhir. Mereka tidak mengerti mengapa sang Ayah tidak tergerak hati untuk kembali.

Suhana mendekap kedua buah hatinya. Wanita itu berusaha untuk tersenyum, walau sesungguhnya hatinya juga merasa sakit dan kecewa. Apalagi saat melihat kedua buah hatinya yang tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah.

“Maafkan Umak,” ucap Suhana.

“Ngape Umak minta maaf? Umak dak salah. Ayah yang salah! Ayah mimang dak sayang kan kamek!” ucap Sam sambil melipat kembali kertas dan memasukkannya kembali ke dalam amplop coklat yang di berikan Paman La Ode. Tampak jelas kekecewaan di wajahnya. Dia tidak mengerti alasan apa yang membuat ayahnya belum mau menemui mereka.

Sam menatap wanita yang begitu dikasihinya, wanita yang telah berusaha untuk menjadi ibu sekaligus Ayah, wanita yang selalu tersenyum saat di depan anak-anaknya, wanita yang selalu menangis di sepertiga malam. Wanita yang lembut namun begitu kuat memikul beban hidupnya.
“Ngape, Bang?”

Sam bergeming, matanya berkaca-kaca.
“Mak, Abang janji, suatu saat Ayah akan nyari kite,” ucap Sam seraya mendekap ibunya.
“Iye Bang, itu pasti.”

Suhana tersenyum dan mengusap kepala putra sulungnya.

“Abang simpan duit itu. Untuk biaye kuliah Abang,” ucap Suhana. Dia melihat amplop berisi uang itu hanya di letakkan begitu saja di atas meja.

“Ndak Mak, Umak la yang nyimpan, ini ukan cuma untuk aku tapi untuk Adek juak,” jawab Sam seraya menyodorkan amplop yang berisi uang dari Ayahnya pada Suhana. Perempuan yang berkulit putih itu merasa terharu. Anak lelakinya begitu bijak. Sam tidak pernah hanya memikirkan dirinya sendiri.

Suhana menerima amplop yang diberikan Sam. Dia tidak ingin berdebat dengan putranya itu dan menyimpan uang pemberian dari Ayah kedua anaknya itu ke dalam lemari di kamar. Dia berjanji tidak akan memakai uang tersebut sedikit pun.

Suhana duduk di tepi tempat tidur. Ditatapnya sebuah foto yang ditempel di pintu lemari. Foto seorang laki-laki yang telah merebut hatinya. Laki-laki yang menjadi Ayah kedua anak mereka.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Bang? Sampai kamu tidak mau lagi kembali ke Pulau ini?” tanya Suhana perlahan.

Air matanya menetes. Bukan air mata rindu, tapi air mata kecewa. Dia juga tidak tahu harus bagaimana seandainya La Harun kembali. Karena jujur rasa cinta sudah terkikis seiring berjalannya waktu. Dia hanya kasihan melihat kedua anaknya yang selalu malu karena dikatakan tidak punya Ayah.

“Mak, aku tiduk kan Umak.” Nengsih masuk ke kamar dan duduk di samping ibunya. Suhana terkejut. Dia segera mengusap air matanya. Beruntung lampu kamar tidak terlalu terang.

“Iye, tiduklah, Umak nak ngambik minum suat ke dapor,” ucap Suhana. Dia segera ke dapur untuk mencuci muka dan mengambil wudhu sebelum tidur. Dia juga tidak mau anak-anak mengetahui kesedihan yang ia rasakan.

Wanita itu berjanji untuk mewujudkan cita-cita kedua buah hatinya.

***
Malam semakin larut. Suara angin terdengar cukup kencang menggoyang dahan dan ranting pohon mangga yang sedang berbuah. Suhana merasakan khawatir, takut ada dahan yang patah dan menimpa atap rumah mereka.

“Tiduklah, isok kite naik kapal pagi,” ucap Suhana. Besok pagi mereka berencana untuk kembali ke Tanjungpandan. Sejak Nengsih masuk SMP, Suhana memang sering ikut ke Kabupaten. Mereka mengontrak sebuah rumah. Karena tidak nyaman kalau harus tinggal di rumah Adiknya.

MAP

Nengsih masuk SMP 1 sama seperti abangnya. Sementara Sam kini sudah di SMA. Suhana memutuskan untuk mengikuti kedua anaknya itu. Dia merasa sepi kalau tetap di pulau karena hanya sendiri.

Mereka kembali ke Pulau seminggu atau kadang dua minggu sekali.

Di tempat kontrakan, Suhana berniat membuka warung pecal dan gado-gado. Dia melihat ada peluang untuk itu. Namun, dia tidak berani memutuskan sendiri. Dia meminta pendapat Sam dan Nengsih.

“Abang, Adek, gimane kalo Umak bejualan di depan?” tanya Suhana pada kedua kakak beradik. Dia takut kalau keduanya malu melihat dirinya berjualan.

Sam menatap Ibunya, “Ngape? Umak dak de duit?” tanya Sam lembut. Dia merasa bersalah karena belum bisa membahagiakan Ibu yang sangat dicintainya.

Suhana tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Ye kan lumayan dapat untuk makan juak, dari pada Umak enggak diam,” jawab wanita itu.

“Basing Umak la, tapi jangan maksekan dirik,” jawab Sam. Dia berjanji suatu saat nanti akan membahagiakan Ibunya. Nengsih tidak banyak komentar. Gadis itu mendukung.

“Kini kalok balik sekula, Adek nulongek Umak,” jawab Nengsih.

Keesokan harinya, Suhana mulai berjualan gado-gado, awalnya masih sepi. Akan tetapi setelah beberapa hari mulai ramai. Setiap pulang sekolah, Nengsih membantu Ibunya. Bahkan dia juga sering membawa ke sekolah karena ada guru-guru yang memesan nasi pecal buatan Ibunya.

Saat pulang ke Pulau Seliu, Suhana juga tidak bisa diam. Saat buah melinjo sudah masak. Dia masih membuat emping. Kalau hari panas, Suhana membuat kerupuk ikan. Kalau banyak kelapa, wanita itu membuat minyak.

Semua itu dia lakukan demi anak-anaknya. Dia ingin Sam dan Nengsih bisa melanjutkan pendidikan yang mereka inginkan.

Suatu malam, setelah salat Magrib. Sam menghampiri Ibunya.

“Mak, sekarang kamek la gede. Kini klo kamek sekula keluar, Umak sendirik. Kalo Umak nak nikah agik, Abang ridho, asal Umak bahagia.”

Lama Suhana terdiam, ada rasa sesak karena rasa haru yang dia rasakan. Dia tidak menyangka Sam sampai memikirkan dirinya sampai seperti itu.

Suhana menggeleng. “Tidak, Nak. Jangan mikirkan Umak. Umak bahagia kalo ngeliat anak-anak Umak bahagia.”

Bersambung …


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…