Part 16 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 16, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …

Part 16 :

“Wah, calon dokter pulang,” bisik Rendy dengan suara yang sengaja dikeraskan. Dia dan dua temannya duduk di atas motor yang diparkirnya di ujung dermaga. Ketiganya tertawa. Sam yang baru turun dari kapal motor tidak mengindahkan. Dia ingin secepatnya sampai rumah.

Dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan ibu dan adiknya. Ada yang ingin segera disampaikan Sam pada Ibunya.

Melihat Sam yang melewati mereka, Rendy merasa kesal. Anak itu menatap punggung Sam sembari mengepalkan tangannya.

“Sialan! Sumbong benar!” umpat Rendy.

Dia segera menghidupkan motor KLX nya. Kedua temannya segera naik. Mereka boncengan tiga. Saat berada tepat di belakang Sam. Rendy memelintir gas motornya sehingga suaranya sangat berisik. Membuat anak laki-laki kelas tiga sekolah menengah pertama itu terkejut dan melompat ke samping. Kakinya menginjak gulungan tali tambang besar yang biasanya digunakan untuk menambatkan kapal. Melihat hal itu Rendy bersama teman-temannya tertawa keras. Kemudian anak yang selalu membuat onar itu memacu motornya meninggalkan Sam yang hanya bisa terdiam.

Beberapa orang nelayan yang melihat kejadian itu menggelengkan kepala melihat kelakuan Rendy yang semakin menjadi. Akhir-akhir ini kelakuan Rendy semakin membuat warga kesal. Terutama dengan suara knalpot motornya yang memekakkan telinga.

Kalau tidak memandang Pak Basir, sudah lama Rendy diberikan pelajaran, supaya jera dan belajar sopan dan menghargai orang lain. Namun, warga tidak bisa berbuat banyak. Karena sebagian besar hasil tangkapan mereka dijual pada Pak Basir.

Walau sebenarnya Pak Basir sendiri merasa kesal dengan kelakuan Rendy. Apalagi anaknya itu sering bolos sekolah. Padahal Pak Basir ingin agar Rendy bisa sekolah yang tinggi. Dia ingin ada anak dari pulau kecil yang berhasil seperti orang-orang yang ada di kota. Namun, sepertinya keinginan itu harus tidak sesuai dengan kenyataan. Sudah berapa kali dia mendapat surat panggilan dari sekolah karena kelakuan Rendy.

Beberapa nelayan yang sedang membersihkan perahu melihat ke arah Sam. Seorang laki-laki paruh baya turun dari perahu motornya dan menghampiri Sam.

“Usa diingaek Jang, paya urus biak-biak itu,” ucap Pak Sudin.

“E, Pak Long.” Sam mengambil tangan laki-laki itu dan menciumnya. Pak Sudin mengusap kepala anak itu yang sudah dianggapnya anak sendiri.
“Tadi Kakek kao baru balik, belau cerite kao la lamak dak balik.”

“O, iye Pak Long, menje agik ulangan,” jawab Sam tersenyum. Dia memang sudah hampir sebulan tidak pulang. Karena persiapan ulangan semester satu. Dia takut kalau nilainya rendah nanti tidak bisa masuk SMA Negeri.

Alhamdulillah, usahanya tidak sia-sia, dia kembali mendapat nilai bagus dan masuk sepuluh besar di kelasnya. Dan yang paling membuatnya bahagia adalah saat dirinya dipanggil kepala sekolah yang memberitahukan kalau dia mendapat beasiswa pendidikan untuk siswa yang berprestasi.

“Pak Long, aku balik duluk ye!” Sam pamit pada Pak Sudin.

“Tunggu suat.” Pak Sudin segera kembali ke perahu motornya. Sam terpaksa menunggu. Dia mengira Pak Sudin mau menitipkan sesuatu karena Sam nanti akan melewati rumah laki-laki paruh baya itu.

“Ini ade ikan sikit, dapat untuk digangan,” ujar Pak Sudin sambil memberikan kantong kresek yang berisi ikan segar.

“Terima kase Pak Long,” ucap Sam.

“Iye, baliklah, umak kao la gaok,” jawab laki-laki itu.
Sam tersenyum, dia terharu dengan kebaikan Pak Sudin. Bagi Sam dia orang baik. Walau banyak anak-anak yang takut dengan Pak Sudin. Laki-laki paruh baya itu memiliki kulit yang hitam. Mungkin karena sering terbakar matahari. Tatapan matanya juga sangat tajam.

Pak Sudin jarang menggunakan baju saat bekerja di perahunya. Hanya mengenakan celana pendek.
Laki-laki itu selalu menghabiskan waktunya dengan melaut. Bukan tanpa alasan. Akan tetapi semua itu dia lakukan untuk mengobati kesedihannya. Anak laki-laki satu-satunya yang mereka miliki telah pergi untuk selamanya.

Imran, anak Pak Sudin seumuran dengan Sam. Dan mereka dulu sangat akrab. Karena rumah mereka berdekatan. Mereka selalu main bersama.

Namun, kini itu semua tinggal kenangan. Pada saat berumur enam tahun, Imran terkena muntaber yang akhirnya dehidrasi dan harus secepatnya di rujuk ke rumah sakit. Namun, karena keterbatasan tenaga kesehatan dan tidak ada dokter yang bertugas di pulau saat itu, akhirnya penanganan terlambat. Dalam perjalanan ke rumah sakit di kecamatan, Imran mengembuskan napas terakhir. Allah lebih menyayanginya.

Saat itu Pak Sudin sedang melaut. Warga yang menolong Mak Lina membawa Imran ke rumah sakit yang ada di kecamatan. Jadi laki-laki itu sangat terkejut saat pulang dan mendengar anak yang sangat disayanginya telah tiada.

Laki-laki itu sempat tidak sadarkan diri. Dia juga sempat mengamuk, memukul dinding rumahnya melampiaskan perasaan bersalah yang ia rasakan. Sampai kemudian beberapa warga menenangkan laki-laki malang tersebut.

MAP

Sam kecil juga merasa sangat sedih. Saat ia mendengar kalau kematian sahabatnya karena terlambat pertolongan dokter. Sejak itu Sam bertekad dalam hatinya, “Mak kelak aku nak jadi dokter,” ucap Sam pada ibunya saat itu.

“Aamiin,” jawab Suhana tersenyum mendengar keinginan anak sulungnya itu. Bagi Suhana itu hanyalah ocehan seorang anak kecil.

“Assalamualaikum…” Sam yang sudah sampai rumahnya mengucapkan salam pada beberapa orang yang sedang duduk di bawah pohon mangga di samping rumah mereka.

Beberapa wanita tampak sedang membuat emping melinjo dengan cara tradisional. Yaitu menggunakan balok kayu tebal sebagai alas untuk memipihkan isi biji melinjo yang sebelumnya sudah di goreng menggunakan kuali kecil. Melinjo yang digoreng menggunakan minyak kelapa sangat harum.

“Mak angusek,” pinta Sam yang meminta ibunya untuk menggoreng buah melinjo sampai kering. Dia memang sangat suka dan memang sangat enak. Setelah agak hangus baru diangkat dan langsung digeprek.

“Ini Bang.” Nengsih memberikan piring kecil yang berisi buah melinjo yang masih panas dan sudah di geprek.

“Makase,” ucap Sam pada adiknya. Dia memberikan bungkusan ikan yang dibawanya.

“Ape ini Bang?” tanya Nengsih sambil membuka bungkusan di tangannya.

“Ih, ikan!” teriak Nengsih yang terlihat sedikit kecewa. Dia memberikan bungkusan itu pada Suhana.

“Ini Mak. Abang bawa ikan.” Suhana yang baru bangkit dari duduknya menerima kantong kresek dari tangan Nengsih. Wanita itu melihat isi bungkusan. Dia menatap anak laki-lakinya yang baru pulang.

“Ikan dari mane?” Suhana menatap Sam yang sedang membersihkan kulit biji melinjo yang masih melekat. Setelah bersih baru dia makan.

“Itu ikan diberi Pak Long Sudin tadi Mak,” jawab Sam.

“O, taulah belau kao rajin makan gangan,” jawab Suhana tersenyum.

Suhana tampak sangat bahagia melihat kedatangan Sam. Begitu juga dengan Nengsih yang langsung nempel dengan abangnya itu. Sam mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memberikan pada adiknya itu yang segera disambut Nengsih. Wajah gadis kecil itu sangat bahagia.

“Makase Bang,” ucap Nengsih yang semakin cantik. Kini gadis kecil sudah duduk di kelas lima.
Suhana yang sudah menghentikan kegiatannya mengemping mengajak Sam masuk.

“Mikak udakan ye, aku nak ngenggangan duluk,” ucap Suhana pada Mak Yana dan anaknya yang membantu membuat emping.

“Iye, biar kamek ngudakan, agik sikit juak ini,” jawab Mak Yana, tetangga depan rumah mereka. Suara palu yang beradu dengan balok kayu tebal terdengar merdu. Suara yang menjadi ciri khas di Pulau Seliu.

Bersambung …


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…