Part 12 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 12, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …

Part 12 :

“Waalaikumussalam,”  jawab Suhana. Mereka bangkit dari meja makan. Sam membawa piring dan gelas bekas dia makan ke tempat cuci piring dan langsung mencucinya. Suhana menghapus air matanya sebelum melangkah ke pintu depan.

Dalam hatinya wanita itu bertanya, siapa yang datang ke rumah mereka? Jangan-jangan pertanyaan Sam tadi ada hubungannya dengan ini?

Bagaimana kalau benar Ayah Sam yang datang?

“Maaf, mengganggu.” Mendengar suara itu Suhana tersadar.

Tidak itu bukan suara ayahnya Sam. Walau sudah lama terpisah, dia masih ingat suara La Harun yang tegas dan berat.

“Oh, iya, ada apa Pak?” Suhana merasa tidak enak hati melihat kedatangan Pak Basir. Suhana jadi ingat kejadian yang menimpa anak laki-lakinya.

“Boleh saya masuk, Bu?” tanya Pak Basir yang melihat Suhana masih berdiri di tengah-tengah pintu.

“Maaf Pak, apa tidak bisa di sini saja?” jawab Suhana. Dia tidak mau kedatangan Pak Basir menimbulkan fitnah. Statusnya sebagai seorang wanita yang ditinggalkan suami sudah cukup membuatnya menderita. Dicurigai bahkan difitnah. Dia juga merasa kesal, karena kelakuan anak Pak Basir yang selalu mencelakai Sam.

“Saya ingin membicarakan tentang anak-anak kita Bu.”

“Iya, Pak. Saya tahu. Saya juga ingin bertanya pada anak Bapak. Mengapa dia selalu mengganggu anak saya,” ucap Suhana mengatakan semua rasa kesalnya.

“Iya Bu, saya datang ke sini justru ingin menanyakan pada anak Ibu, mengapa dia sampai mengeroyok anak saya?”

“Apa? Mengeroyok anak Bapak? Apa tidak terbalik?” Suhana tidak bisa menahan emosinya. Sam yang mendengar Ibunya seperti bertengkar segera keluar. Dia terkejut melihat Pak Basir. Suhana yang melihat Sam segera menghampiri anaknya itu.

“Lihat, Pak! Justru anak Bapak yang telah mengeroyok anak saya! Lihat Pak!” Suhana menunjuk luka di kening Sam.

“Iya, Pak, Rendy bersama dua temannya yang telah mengeroyok Sam. Saya dan ayah saya saksinya!” sebut Mira. Gadis itu melihat saat Pak Basir menuju ke sini. Mira langsung mengikuti. Dia takut Rendy mengadu pada Ayahnya. Ternyata dugaannya benar.

Suhana merasa senang melihat kehadiran Mira, karena gadis itu adalah saksi yang melihat kejadian.

Pak Basir terdiam.

“Tadi saya melihat, Rendy menendang sepeda Sam, hingga terjatuh. Dia juga berusaha untuk menyerang Sam, tapi tidak jadi, mereka kabur setelah melihat kami.”

“Tapi wajah Rendy juga babak belur, berarti mereka memang berkelahi.”

Sam menatap Mira, dia tidak tahu apa yang dimaksud Pak Basir. Dia memang sempat membalas dengan meninju wajah Rendy, tapi itu hanya sekali dan tidak terlalu keras. Mana mungkin kalau sampai babak belur.

Mira tertawa, “ Bapak tanya lagi anak Bapak. Apa yang sudah dia lakukan.” Pak Basir terdiam.

“Begini ya, Pak. Saat di sekolah, Rendy selalu mengejek Sam dan membully nya sebagai anak buronan. Dia selalu mencari gara-gara. Tapi, tidak pernah ditanggapi Sam. Sampai tadi dia dan kedua temannya menghadang sepeda Sam saat pulang sekolah. Hingga Sam terjatuh. Bukannya menolong malah mereka kembali menendang sepeda Sam saat dia mau bangkit.” Pak Basir menatap Sam yang hanya diam.

“Bapak tahu? Selain luka dan lecet. Baju seragam dan sepatunya robek!” ucap Mira lagi.

“Kalau begitu, maaf. Nanti saya ganti,” jawab Pak Basir.

“Maaf, Pak. Kami tidak menuntut untuk diganti, tapi tolong Bapak jaga anak Bapak untuk tidak mengganggu anak saya lagi,” jawab Suhana.

“Iya, Bu. Saya minta maaf atas kelakuan anak saya.” Wajah Pak Basir merah. Mungkin menahan malu dan marah karena ternyata cerita Rendy sangat berbeda dengan apa yang terjadi.

“Baik, Bu. Sekali lagi saya mohon maaf,” ucap Pak Basir sambil melangkah menuju motornya.

“Ini akibatnya kalau anak terlalu dimanja!” desis Pak Basir. Dia merasa kesal pada istrinya yang terlalu memanjakan anak bungsu mereka, sehingga anak itu menjadi besar kepala dan mau menang sendiri. Dia merasa dipermalukan oleh anak dan istrinya sendiri yang memaksanya untuk mendamprat Sam.

“Terima kase, Mir,” ucap Sam pada Mira yang sudah membantu ibunya menghadapi Ayah Rendy.
“Iye, Same-same, Sam,” jawab Mira.
“La masok la, umak nak masakek minyak dulu,” ucap Suhana. Wanita itu meninggalkan kedua anak itu untuk ke dapur melanjutkan memasak minyak kelapa.

“Ye, Mak,” jawab Mira. Gadis itu menatap kening Sam yang terluka. Sam menjadi salah tingkah.

“Sam kite ke pantai yuk,” ajak Mira. Sebentar lagi matahari terbenam. Dia sangat menyukai cahaya senja, apalagi saat sinar mentari menyebar di permukaan laut sehingga menimbulkan pantulan cahaya ke emasan.

MAP

Sam tidak tega menolak keinginan Mira yang sudah sering menolongnya.

“Yuk,” jawab Sam. Mereka berjalan ke belakang rumah. Ada bangku kayu yang dibuat Sam di bawah pohon ketapang. Mereka duduk di sana menatap ke arah lautan yang sedang pasang. Riaknya lembut. Tampak beberapa ekor burung camar terbang dan kemudian menukik menangkap ikan.

“Mir, terima kasih ya, kao la banyak nulong aku,” ucap Sam.

“Ih, ape se. Aku dak jak ngape-ngape,” jawab gadis beranjak remaja itu tersenyum malu.
Sejenak suasana sepi, hanya terdengar desir angin yang menerpa dedaunan, juga suara debur ombak yang memecah pantai. Perlahan senja mulai turun. Cahayanya sangat indah, kemerahan bulat sempurna, awan tipis perlahan bergerak menutupi.

Namun, mentari akhirnya keluar lagi, seakan dia tidak mau menyembunyikan keindahannya.
“Sam, kao SMP di mane?” tanya Mira. Di pulau belum ada SMP, jadi kalau mau melanjutkan sekolah mereka harus memilih mau SMP kecamatan atau ke SMP yang ada di kabupaten.

“Lum tahu, Mir,” jawab Sam. Dia memang belum tahu, dan belum meminta pendapat ibunya. Tapi, sebenarnya Sam sendiri ingin ke SMP yang ada di kabupaten. Di sana bisa tinggal di rumah saudara ibunya. Kalau di kecamatan memang lebih dekat, tapi dia tidak punya saudara yang tinggal di sana. Untuk pulang pergi tentu ongkosnya lebih besar.

“Sam! Liat bagus amat!” Mira menunjuk kearah mentari yang memancarkan cahaya kemerahan. Begitu indah.

Walaupun Mira sudah sering melihat keindahan mentari di saat pagi ataupun senja, namun, dia tidak pernah bosan dan selalu merasa takjub.

“Bang!” Nengsih mendekati abangnya. Gadis kecil itu membawa sepiring singkong goreng yang masih hangat.

“Kak, ini,” ucap Nengsih menyodorkan singkong goreng itu pada Mira. Mira mengambil sepotong.

“Makase,” jawabnya tersenyum menatap Nengsih yang tampak sudah bersih dan wangi. Sepertinya gadis kecil itu baru selesai mandi.

Waktu mentari sudah tenggelam, mereka kembali ke rumah.

“Mak, aku balik duluk ye,” ucap Mira pamit pada Suhana yang juga dipanggilnya ‘Umak’ sebutan untuk ibu di pulau kecil ini.

“Tunggu, Yang. Ini bawa, untuk umak kao,” Suhana memberikan minyak kelapa sebotol pada Mira. Dia memberikan minyak kelapa yang baru saja selesai dibuatnya untuk Rahma, ibu Mira. Mereka memang berteman sejak masih remaja.

“Makase, Mak,” jawab Mira seraya menyambut sebotol minyak kelapa yang masih terasa hangat. Minyak buatan Suhana sangat bening dan wangi.
Gadis remaja itu kemudian berjalan pulang. Mira tidak punya saudara, dia anak semata wayang. Makanya dia merasa senang kalau bisa bermain dengan Nengsih dan Sam.

Bersambung …


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…