Part 11 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini cuplikan ceritanya untuk Part 11, tapi jangan lupa baca juga part sebelumnya, agar ceritanya bisa nyambung …

Part 11 :

“Assalamualaikum…” Mira mengucapkan salam saat mereka sudah sampai di rumah Sam. Gadis cantik itu memang mengantarkan Sam sampai ke rumah. Ia merasa kasihan dengan kondisi Sam.

Pelipisnya berdarah terkena setang sepeda. Kakinya juga ada yang lecet. Baju seragamnya kotor terkena becek dari tanah Merah. Bahkan sepatunya juga sobek karena tersangkut di pedal sepeda saat dia terjatuh bersama sepedanya karena mengerem mendadak.

Sam merasa takut. Pasti ibunya akan merasa sangat khawatir saat melihat keadaan dirinya. Sebenarnya Sam ingin pulang sendiri. Tapi, Mira dan ayahnya tidak memperbolehkan. Mereka takut Rendy kembali menyerang Sam. Makanya Mira diminta ayahnya menemani Sam berjalan pulang ke rumah. Ayah Mira mengikuti mereka dari belakang.
“Waalaikumussalam…”

Mendengar suara ibunya, Sam segera ke belakang, tapi telat. Suhana sudah keburu melihat keadaan anak laki-laki nya itu.

“Bang ngape kening kao bedarah?” Suhana segera mendekati Sam. Wanita itu bertambah khawatir saat melihat keadaan Sam. Baju putihnya terlihat sangat kotor dan berwarna merah.

“Isak ngape jadi sampai gini?” Suhana berbalik dan menanyakan pada Mira apa yang telah terjadi. Sam hanya diam dan tertunduk. Hatinya sedih karena telah membuat ibunya begitu mengkhawatirkan keadaan dirinya.

“Sam di keroyok Rendy kan kawane, Mak,” jawab Mira. Sam terkejut mendengar hal itu. Dia lupa tadi tidak kompromi dulu dengan Mira agar gadis itu tidak mengatakan yang sebenarnya. Namun, sekarang semua sudah terlambat. Ibunya sudah tahu kejadian sesungguhnya.

“Ya Allah, ngapeken biak itu ndak uda-uda ngulaek Sam,” ujar Suhana dengan perasaan sedih. Dia menatap putra sulungnya tersebut. Dia tidak bisa menahan perasaannya.

“Sabar, Nak ye. Ginila klo kite urang ndak ade ne, senyaman urang la,” ucap Suhana seraya mengelus rambut Sam.

“Mak, aku balik dulu ye,” Mira yang merasa tidak nyaman segera pamit.

“Iye, Yang. Makase ye la nulongek Sam.”

“Ye Mak. Same-same.” Mira melanjutkan berjalan pulang ke rumahnya. Ayahnya tadi sudah langsung pulang saat melihat mereka sudah sampai di rumah Sam. Mira merasa sangat kasihan melihat keadaan Sam. Dia berjanji akan memberikan pelajaran untuk Rendy dan kedua temannya. Dia akan melaporkan kelakuan ketiga anak itu pada guru di sekolah.

“Mak, ngape Abang?” tanya Nengsih melihat ibunya sedang membersihkan luka di kening abangnya.

“Ndak ape-ape Dek. Tadi abang jatuk dari sepida,” jawab Sam mendahului ibu menjawab pertanyaan adiknya itu. Kalau Nengsih tahu yang sebenarnya, Sam takut Nengsih akan bercerita lagi pada teman-temannya. Maklum adiknya itu lumayan cerewet.

“Ngape jadi jatuk?” tanya Nengsih lagi. Dia seakan tidak percaya dengan jawaban abangnya.

“Adek, cepat ngaji dulu ke rumah Kakek.” Suhana mengalihkan pembicaraan Nengsih. Gadis kecil itu terlihat kecewa karena pertanyaannya tidak dijawab.

“Sebut kan Kakek. Abang ndak ngaji sarine,” ucap Suhana lagi pada gadis kecilnya.

“Iye Mak.” Dengan agak malas, Nengsih berangkat ke rumah Kakeknya.

Suhana tidak banyak bertanya pada Sam. Dia merasa ini semua terjadi pasti ada hubungannya dengan status ayah Sam. Seperti yang sudah-sudah. Ada rasa marah di hati wanita itu. Marah pada sosok laki-laki yang dulu telah hadir dalam kehidupannya. Ada penyesalan, namun segera ditepisnya rasa itu.

MAP

Aku tidak boleh menyesal, karena ini adalah takdir. Kalau laki-laki itu tidak hadir dalam kehidupanku tentu tidak ada Sam dan Nengsih, keduanya begitu berarti dalam kehidupanku, monolog Suhana dalam hatinya.

“Mak, maaf. Abang la muat umak sedih,” ucap Sam menatap ibunya.

“Ye, ndak ape-ape. Umak tahu ukan salah kao.”

“Mak, lapar,” ucap Sam. Suhana tersadar kalau anaknya itu belum makan.

“Astaghfirullah ye, kini umak ambiek.”

“Usa Mak, biar aku ke dapor,” jawab Sam segera bangkit mengiringi langkah ibunya.

Sam duduk di kursi kayu dan menghadap meja makan yang kata Kakek, meja itu dibuat oleh ayahnya. Saat sedang tidak berlayar, dulu la Harun memang suka membuat perkakas di rumahnya. Ada juga lemari pakaian yang juga dibuatnya sendiri. La Harun sering membawa papan dari kayu yang bagus di kapalnya. Yang dibelinya dari tempat yang dia singgahi.

Sam sangat ingin bertemu sang ayah, anak itu tidak begitu ingat wajah ayahnya. Terakhir bertemu dia baru empat tahun.

“Makanlah, tadik Umak ngenggangan ikan diantarek Kakek kao. Tadi pagi Kakek isak nyelik siro e,” ucap Suhana menyajikan semangkok gangan ikan bingkis kesukaan Sam. Apalagi ternyata ikannya sedang bertelur. Anak itu terlihat makan dengan lahap. Mungkin juga karena terlalu lapar. Suhana duduk di depan anaknya itu.

“Mak, Umak lejukke kan Ayah?”
Suhana hampir tersedak mendengar pertanyaan Sam. Wanita itu bingung mau menjawab. Rasa kangen itu pernah ia rasakan, beberapa tahun yang lalu. Tapi, sekarang dia tidak tahu lagi apa yang ia rasakan.

“Ngape jadi betanyak gitu Bang?” Suhana balik bertanya.

“Umak nakke Ayah balik agik ke sinek?” tanya Sam yang semakin membuat Suhana terdiam. Dia tidak mungkin untuk menjawab kalau sebenarnya rasa cintanya pada Ayah mereka sudah pudar.

“Ye kalo balik masak kite usir?” ucap Suhana tersenyum.

“Aku nak ngeliat Ayah sekarang. Kate Kakek, aku mirip Ayah. Ye ke Mak?”

Suhana hanya mengangguk. Mata anak lelakinya itu memang begitu mirip dengan ayahnya. Dingin dan tajam.

“Kate Paman Laode, keluarge Ayah ade juak di jakarta. Umak tahu ke?”

“Umak dak gilak tahu, tapi setahu Umak. Duluk yang pernah datang ke sini memang ade Abang dari Ayah kao yang kate e diam di Jakarta. Tapi Umak dak tahu daerah mane. Rajin ngelakar dan main cator kan Kakek kao duluk.”

“Mak, kuang ke kelak aku nak kuliah di Jakarta?” Pertanyaan Sam membuat Suhana terdiam.

Dia tidak menyangka putra sulungnya itu sudah memiliki keinginan untuk kuliah. Tamat Sekolah Dasar saja belum. Tapi, Sam memang berbeda, kalau menonton TV anak seusia dia hanya senang nonton film kartun, tapi Sam lebih senang nonton berita dan film-film pengetahuan. Dia juga sering meminjam buku di perpustakaan sekolah yang dibawanya pulang.

“Kuliah? Ye kuang Bang.” Suhana tersenyum menanggapi pertanyaan Sam.

“Sebenare, Mak. Kelak InsyaAllah Abang nak kuliah ke Jakarta. Abang nak nyari beasiswa. Jadi kuliah e ndak mayar,” jawab Sam dengan wajah serius. Suhana merasa tersentuh. Sam mengerti bagaimana, keadaan ekonomi keluarga mereka. Suhana tidak kuasa menahan perasaannya.

“Iye, Umak selalu berdoa dan mendukung Abang,” jawab Suhana sambil berurai air mata yang tidak bisa dibendung nya.

“Umak, jangan sedih. Kini klo Abang la kerje. Abang dapat nyekulahkan adek,” ujar Sam lagi yang membuat Suhana semakin terharu. Betapa anak sekecil ini sudah punya pikiran yang panjang untuk masa depannya.

“Ya Allah, kabulkan keinginan anak-anakku,” ucap Suhana perlahan.

“Assalamu’alaikum…” Terdengar ada yang mengucapkan salam di luar.

“Waalaikumussalam,” jawab Suhana. Mereka bangkit dari meja makan. Sam membawa piring dan gelas bekas dia makan ke tempat cuci piring dan langsung mencucinya. Suhana menghapus air matanya sebelum melangkah ke pintu depan. Dalam hatinya wanita itu bertanya, siapa yang datang ke rumah mereka? Jangan-jangan pertanyaan Sam tadi ada hubungannya dengan ini?

Bagaimana kalau benar Ayah Sam yang datang?

Bersambung …

BACA JUGA: Pentas Seni Laskar Rakyat Desa Air Seruk Semarakkan Peringatan Hari Perjuangan Rakyat Belitung Tahun 2022


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…