Part 2 : Mimpi Anak Pulau | By Nelly Kartins

pradivanews.comSAHABAT pembaca, cerita dengan judul Mimpi Anak Pulau ini merupakan buah karya seorang guru dengan nama penulisnya Nelly Kartins. Cerita yang kami sajikan bersambung ini, sudah dibukukan oleh penulisnya. Berikut ini Part 2 untuk cuplikan ceritanya…

Part 2 :

“Mak, maafkan Abang.” Sam menatap Suhana yang baru saja menutup Al-Quran yang diletakkan di atas rihal yang terbuat dari pohon kelapa buatan Kek Karim, Kakek Sam atau ayah Suhana.

“Udah ngajinya?” tanya wanita itu sambil menatap putra sulungnya.
“Udah Mak,” jawab Sam. Dia mengambil tangan Suhana dan menciumnya. Kejadian tadi siang masih membekas di pikirannya. Anak laki-laki berumur 11 tahun itu merasa sangat bersalah telah membuat ibunya merasa khawatir.

“Maafkan Abang ye Mak,” ulangnya lagi.
“Iya, Bang. Yang penting lain kali jangan seperti itu lagi.” Suhana mengusap pucuk kepala anak sulungnya yang masih berbalut peci. Mereka baru saja selesai Salat Magrib dan dilanjutkan mengaji.

Biasanya Sam pergi ke masjid, tapi tadi sore gerimis dan langit terlihat gelap. Jadi Suhana meminta anak sulungnya itu untuk salat di rumah. Karena ia khawatir malam ini akan turun hujan lebat yang biasanya disertai angin ribut.

“Iye, Mak. Abang ndak tau kalau itu ikan yang berbisa. Untong tadi Abang nemu tudung saji plastik yang udah pecah di pantai. Jadi Abang angkat ikannya pakai itu, ndak Abang pigang,” jawab Sam. Dia menceritakan apa yang dilakukannya tadi siang.

Ikan unsat adalah ikan laut yang mirip lele tapi ukurannya lebih kecil dan memiliki duri yang sangat tajam dan berbisa, kalau tertusuk bisa menimbulkan sakit dan bengkak. Biasanya ikan ini bergerombol.

Mungkin pada saat Sam menemukan ikan itu karena kekeringan saat air laut surut. Suhana tersenyum. Dalam hatinya wanita itu merasa kalau anak laki-lakinya ada yang melindungi walau dia tidak bisa mengawasinya setiap waktu. Di setiap salat Suhana selalu memanjatkan doa memohon perlindungan untuk dirinya dan anak-anak.

Suhana merangkul bahu anak laki-lakinya itu. Nengsih yang baru selesai mengaji, langsung mendekat dan memeluk ibunya. Anak itu memang selalu merasa cemburu kalau melihat ibunya menyayangi Abang.

“Ngape Abang tadi ndak ngajak adek nyari kerang!” sungut Nengsih. Gadis kecil itu protes pada Sam. Mulutnya monyong sambil cemberut. Membuat Suhana dan Sam tertawa geli melihat kelakuan gadis kecil itu. “Kan tadi Adek agik tiduk, jadi Abang tinggal,” jawab Sam pada Nengsih.

“Salam Abang dulu,” kata Sam seraya mengulurkan tangan pada Nengsih. Dia memang suka menggoda adiknya.
Walau masih terlihat kesal, Nengsih mengambil tangan Sam dan menciumnya. Sam memeluk adik yang sangat disayanginya itu.

“Besok balik sekula, kite ke Tajor, di sana banyak kerang,” ajak Sam. Dia tersenyum merayu Nengsih supaya tidak marah lagi.
“Iye Bang ye, awas kalo Abang bebulak. Kini panjang idong!” Sam tergelak mendengar ucapan adiknya. Dia mengacak kepala Nengsih yang masih mengenakan mukena motif hello kitty yang dibelikan Suhana saat lebaran kemarin.

Suhana merasa terharu melihat kedekatan kedua buah hatinya. Pelupuk matanya terasa hangat, segera diusapnya dengan ujung mukena. Wanita itu tidak mau terlihat sedih di depan kedua belahan jiwanya itu.

“Sayang, ayo buka mukenahnya dan lipat sajadah. Kite makan malam duluk. Itu ikan tangkapan Abang tadi udah umak masak,” ucap Suhana.

“Iya, Mak.” Kedua kakak beradik itu segera melipat sajadah dan menyimpannya di atas bufet kecil di pojok ruang tengah.
“Abang menang!” teriak Sam. Ia sudah lebih dulu meletakkan sajadah di bufet dan berlari ke dapur menyusul Suhana. Langkah kakinya menimbulkan suara gaduh di lantai papan yang diinjaknya.

Nengsih yang masih melipat mukena merasa kesal melihat kelakuan Abangnya. Gadis kecil itu berteriak. “Abang! Kan ndak lumbe!” teriaknya kesal. Sam yang mengintip adiknya tertawa. Suhana hanya tersenyum melihat kelakuan kakak beradik yang berbeda umur 2 tahun itu. Melihat keceriaan kedua buah hatinya membuat Suhana melupakan persoalan hidup yang menimpanya.

Tidak terasa tujuh tahun sudah ia membesarkan kedua anaknya seorang diri setelah kepergian laki-laki yang dulu memintanya secara baik-baik pada kedua orang tuanya.
Saat ayahnya pergi terakhir kali, Sam baru berumur empat tahun, dan Nengsih baru dua tahun. Kini mereka besar tanpa kehadiran sosok seorang ayah.

“Umak ngape?”
Suhana terkejut, Nengsih sudah berdiri di sampingnya. Gadis cantik berhidung mancung itu menatap Suhana lekat.
“Ndak, ini mate Umak kena asap, ini Umak nak nyendok nasik,” jawab Suhana seraya menyendok nasi ke dalam baskom tempat nasi yang sejak tadi hanya dipegangnya.
“Adek udah lapar?” tanya Suhana sambil berusaha tersenyum pada putri kecilnya. Nengsih tersenyum malu.

Sam sudah menggelar tikar yang terbuat dari anyaman daun lais buatan Suhana untuk mereka duduk.
“Ini bawa nasinya, Umak nyendok gangan dulu.” Suhana memberikan baskom yang sudah berisi nasi pada Nengsih.
“Hati-hati panas.”

“iye Mak.” Nengsih membawa baskom nasi dan meletakkan di atas tikar yang sudah dibentangkan Abangnya. Kemudian ia mengambil piring dari rak piring. Sam juga tidak mau ketinggalan, anak laki-laki itu mengambil gelas dan teko yang berisi air dari atas meja. Kemudian dia menuangkan air dari teko plastik yang dipegangnya ke dalam tiga buah gelas.

Mereka bertiga sudah duduk menghadap hidangan, aroma gangan membuat perut Sam semakin keroncongan. Anak itu segera mengisi nasi ke piringnya dan menambahkan kuah beserta ikan ke dalam piring.
“Pelan-pelan, Bang. Jangan lupa berdoa.” Suhana tersenyum melihat Sam yang tampak sangat lahap makan dengan lauk gangan Ikan unsat hasil tangkapannya.

Sejenak suasana hening. Ketiganya konsentrasi dengan isi piring di hadapan masing-masing. Suhana memang selalu membiasakan kalau makan tidak boleh berbicara. Setelah selesai makan malam, seperti biasa Sam dan Nengsih belajar di ruang tengah.

Di luar hujan belum juga berhenti. Bahkan sepertinya semakin deras disertai dengan angin yang bertiup cukup kencang. Terdengar dahan dan ranting pohon mangga berderak saling beradu tertiup angin. Suhana merasa khawatir, takut ada dahan mangga yang patah dan menimpa atap rumah mereka. Suara hujan yang menimpa atap seng menimbulkan suara gaduh.

Lampu di ruang tengah tampak berayun-ayun sehingga cahayanya tidak fokus. Maklum lampu tersebut hanya dipasang seadanya. Kabel tampak berseliweran di atas langit-langit rumah yang tidak ditutup dek.

“Mak, pening,” ucap Nengsih sambil menunjuk ke arah lampu yang berayun ditiup angin.
“Ya, udah. Berhenti dulu. Nanti tambah pening,” jawab Suhana. Wanita itu bangkit. Ia teringat pintu dapur belum dipasang palang. Suhana bangkit dan melangkah ke dapur. Melihat ibunya bangkit, Nengsih juga ikut bangkit.
“Adek nak ngape?” tanya Suhana.
“Ikut, Adek takut,” jawab Nengsih. Gadis kecil itu memegang baju Suhana.
“Adek nak pipis?” tanya Suhana. Nengsih menggeleng. Mereka melangkah ke dapur.

MAP

Terdengar deburan ombak. Laut pasang penuh. Di luar tampak sangat gelap. Suhana memasangkan palang pintu dapur. Palang dari bekas gagang sapu lidi yang diikatkan ke pintu. Karena memang pintu tersebut sudah tidak bisa dikunci.

Suhana mengambil dua buah lampu kabut untuk persiapan saat mati lampu. Biasanya kalau hujan deras lampu sering padam. Dan perkiraan wanita itu benar. Baru saja dia meletakkan lampu teplok di dinding lampu tiba-tiba padam. Untung sudah ada korek api di tangannya. Suhana segera menyalakan lampu.

Ada kilatan cahaya kilat yang disertai suara guntur yang cukup mengejutkan.
“Umak, takut…” Gadis kecil terus memegang baju Suhana sambil mendekap bukunya. Sam menyusul ibu dan adiknya ke dapur. Dia meraba dalam gelap .

“Ini Bang, bawa lampunya ke dalam.” Suhana memberikan sebuah lampu pada Sam.
“Iye Mak. Usa takut Dek, kini jak hujan berenti,” ucap Sam saat melihat adiknya terlihat takut mendengar suara guntur. Mereka berjalan beriringan kembali ke ruang tengah. Sam kembali membaca bukunya di bawah penerangan seadanya.

“Jangan membace dalam gelap Bang. Kini matenye sakit.” ujar Suhana yang melihat Sam masih terus belajar.
“Ye, Mak. Sikit agik. Isok ulangan.”

Suhana hanya bisa diam mendengar jawaban Sam. Dia tahu kalau soal belajar, anak itu sulit untuk ditawar. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah begitu kuat.
Suhana mengambil sebuah lampu lagi yang tadinya disimpan di dapur dan meletakkannya di meja bulat kecil yang ada di samping Sam.

“Neng….” Suhana memanggil Nengsih. Tidak ada sahutan. Saat menoleh, dia tersenyum melihat gadis kecil itu sudah tertidur sambil mendekap bukunya.

Suhana segera mengambil bantal dan kain di kamar. Diselimutinya gadis kecil yang tampak begitu cantik dalam tidurnya. Perlahan Suhana melepaskan buku dalam dekapan Nengsih. Diciumnya kening anak bungsunya itu. Setelah menyelimuti Nengsih, Suhana menyalakan lilin dan kembali ke dapur untuk mengambil wudu. Dia hampir lupa belum Salat Isa. Setelah berwudu wanita itu kembali menghampiri Sam.

“Bang, kalau mau wudhu, pakai air yang ada di dapur. Jangan turun,” pesan Suhana. Dia takut Sam nekad turun untuk mengambil air di sumur.

“Iye Mak,” sahut anak itu sambil menuliskan catatan di bukunya. Suhana merasa bangga sekaligus sedih melihat kegigihan putranya itu. Ada rasa takut di hatinya. Takut tidak bisa mengikuti keinginan Sam. Namun, perasaan itu segera ditepisnya.

“Aku tidak boleh pesimis, aku harus kuat. Aku yakin semua pasti ada jalannya,” bisik Suhana dalam hati seraya mengenakan mukena. Sejenak kemudian wanita itu berserah pada Sang Pencipta. Dia yakin apa yang terjadi pasti ada hikmahnya.

Bersambung . . .


Sahabat
Ikuti terus perkembangan informasi dari media online pradivanews.com, yang update informasinya selalu kami sajikan di halaman atau fanpage Facebook Sahabat pradivanews

Kami juga memiliki Channel Youtube, untuk menyajikan informasi dalam format visual…
Terima kasih kepada sahabat semua, yang sudah bersedia mengunjungi website kami…